Bukabumi - yang belum ngeh, di Kecamatan Cidahu ada sebuah makam yang kerap diziarahi oleh berbagai kelompok masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara.
Di makam tersebut bersemayam seorang ulama dan tokoh sejarah yang harum namanya, Eyang Santri. Beliau adalah sosok yang dianggap memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih (istimewa).
Makam Eyang Santri berada di kaki Gunung Salak pada ketinggian 800m dpl, tepatnya di kawasan Padepokan Girijaya. Padepokan Girijaya masuk ke wilayah Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Kira-kira kalau dari Cicurug ke Padepokan berjarak sekitar 14 km.
Nah, siapakah Eyang Santri? Kalian mungkin sudah banyak yang tahu, bagi yang belum tahu ini lima fakta mengagumkan tentangnya
Baca juga:
Asal Usul Suku Kampai Minangkabau
|
1. Keturunan Pangeran SambernyowoOrang sekitar Cidahu dan banyak orang lainnya menyebutnya dengan nama Eyang Santri alias Eyang Girijaya alias Pangeran Muhammad Santri. Sebenarnya nama aslinya adalah Pangeran Djojokusumo. Ia lahir pada tahun 1770 dan merupakan salah satu kerabat dekat trah Mangkunegaran dan merupakan cucu kandung dari Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I. Ayahnya bernama Pangeran Prabuamidjojo dan ibunya yang bernama Puteri Ayu Trikusumo adalah puteri dari Pangeran Cakraningrat, penguasa Pamekasan, Madura.
Di masa remajanya Eyang Santri banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur.
2. Keliling pulau Jawa dan mendapat wangsit
Pangeran Djojokusumo di masa mudanya sangat tertarik dengan cerita-cerita tentang keindahan Pulau Jawa. Akhirnya, Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa. Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’ (belajar).
Saat tahun 1823 Pakubuwono V wafat, Pangeran Djojokusumo yang sedang berada di Sumedang dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI. Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa. Ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’.
Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat. ‘Perang besar’ yang dimaksud Pangeran Djojokusumo kemungkinan besar adalah Perang Diponegoro.
3. Mendukung Pangeran Diponegoro
Di masa mudanya, Pangeran Djojokusumo bersahabat dengan Pangeran Jungut Mandurareja yang merupkan paman dari Sultan Solo, Pakubuwono VI. Saat terjadi pergolakan menolak patok tanah Belanda yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro, Pangeran Djojokusomo dan Pangeran Jungut Mandurareja mendukung Pangeran Diponegoro.
“Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda. Tapi kita harus bermain strategis. Kalau keponakanku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan. Ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam, ” kata Pangeran Djojokusumo.
Pangeran Djojokusomo dan Pangeran Jungut Mandurareja pun me-lobby Pakubuwono VI untuk mendukung Pangeran Diponegoro. Walhasil, singkat cerita, Pakubuwono VI pun mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro.
4. Menyepi ke Cidahu
Saat Perang Diponegoro berakhir dengan kemenangan Belanda karena akal licik mereka, banyak tokoh yang dicurigai terlibat menjadi incaran Belanda. Bahkan, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya (Pangeran Diponegoro).
Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda. Ia memilih untuk melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap. Di sini pun ia dikepung banyak pendukung Belanda. Dengan menyamar sebagai petani, ia pergi ke Sukabumi, tepatnya ke desa Cidahu. Di sana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana. Sejak itu ia dikenal dengan nama Eyang Santri.
5. Dikunjungi banyak tokoh nasional-internasional
Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850, pernah datang beberapa utusan dari Solo yang meminta Eyang Santri pulang ke Solo, tapi ia menolak dan memilih menjadi petani saja di Cidahu. Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun saat meninggal di sekitar tahun 1929. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik.
Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Dirk van Hinloopen Labberton, ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa juga kerap berkunjung ke Eyang Santri.
Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto (pendiri Serikat Islam) juga mampir ke rumah Eyang Santri mengajak muridnya Sukarno. Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.
Ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono juga datang berguru ke Eyang Santri. Tokoh lainnya yang pernah mengunjungi Eyang Santri adalah Ki Hajar Dewantoro, Muhammad Yamin, sampai tokoh spiritual dan filsuf India seperti Rabindranath Tagore.
Itulah kisah seorang tokoh spiritual, ulama yang penuh karomah yang kini beristirahat dengan tenang di Cidahu Sukabuni Jawa Barat.
Sumber Primer Oleh : Anwar Resa Jurnalis Nasional Indonesia